Selasa, 27 Agustus 2013

Honesty

Assalamualaikum ketemu lagi nih, hehehe.. Apa kabar? Semoga kesehatan dan keberkahan selalu Allah limpahkan untuk kita semua. Kali ini bahas hal biasa namun agak berat nih hhehee, sebelumnya mohon maaf kalau ada kata yang menyinggung pembaca.

“Jujur” adalah kata yang sangat familiar untuk kita tentunya, sekalipun di akhir-akhir ini akhlak bangsa kita Indonesia tercinta saya rasa sangat jauh dari Kejujuran itu sendiri. Terbukti dengan kasus korupsi yang merebak, serta penanganan yang dilakukan seakan tak menyurutkan niat pelakunya.

Menelisik kembali apa yang menjadi akar masalah dari kasus korupsi yang merajalela di negeri ini yang membuat negeri ini yang kaya terasa miskin, memang karena kejujuran, dan rasa amanah, serta akhlak yang dimiliki oleh para pelaku korupsi tentu sudah kita ketahui.

Masalah kejujuran tak hanya di bidang politik yang kebetulan sering terekspose media, dari pengalaman hidup selama ini di dunia pendidikan, yang juga berperan sebagai pembentukan karakter masyarakat kita, kejujuran pun sangat minim, dalam hal ujian misalnya, tau sendiri kan? Memakai kata solidaritas, citra sekolah, dan rahasia umum lainnya yang membuat kejujuran itu di kesampingkan, nampaknya kejujuran hanya ada dalam materi tahun awal bangku sekolah dasar.

Dari pengalamanku sendiri, tak hanya para kawan yang menghalalkan praktik ketidakjujuran tadi, para pendidik pun pernah memintaku untuk melakukan demikian dengan di tambah bumbu ancaman. Yup, sungguh miris, saat guru lain mengajarkan jujur dalam teori, praktiknya aku di jerumuskan dalam ketidakjujuran. Kelihatan sepele, namun hal ringan ini akan terbentuk dalam mindset para siswa bahwa mencontek atau hal tidak jujur lainnya adalah hal yang diperbolehkan. Inilah yang menjadi bibit-bibit korupsi nantinya.

Mengutip kata-kata dari sebuah komik yang intinya sebuah keburukan kecil yang dibiarkan, akan menjadi sebuah kebiasaan, dan lama-kelamaan bisa menjadi sesuatu yang dibenarkan. Nahloh, kalo akhirnya mencontek dianggap sesuatu yang dibenarkan, nantinya, bukan tidak mungkin korupsi akan menyusul pula nasibnya

Pengalaman di bangku SD tadi terus berlanjut sampai bangku perkuliahan. Meskipun aku melawan arus, dianggap pelit atau tak solider, dan godaan dari diri sendiri pun tak kupungkiri terus menghampiri, terus berusaha teguh pada prinsip, membayangkan malunya aku pada anak-anak ku atau anak didikku kalau mengetahui aku sebagai guru mereka ternyata seseorang dengan prestasi yang semu, palsu. Mengajarkan kebaikan namun tak kulakukan.

Padahal agama Islam yang begitu indah ini sudah menyampaikan kisah-kisah kepemimpinan yang sungguh mulia, teladan yang baik, yang terbentuk dari keimanan akan sebuah agama yang mengatur semua lengkap. Pembelajaran akhlak yang dapat membentuk karakter yang berakhlakul karimah, yang selalu takut pada Allah, yang tidak tergila-gila akan dunia, yang adil, dan rahmatal lil alamin. Seperti kisah Umar bin Khatab yang memikul gandum sendiri untuk rakyatnya yang kelaparan, atau Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menggunakan lampu milik Negara hanya untuk urusan kenegaraan, dan mengganti dengan lampu minyak milik pribadinya untuk urusan selain itu. Sulit menemukannya saat ini. Seorang manusia yang mengingat akan Tuhannya, yang menyadari ada dua malaikat di belakangnya yang selalu mencatat apa yang di lakukan, ia tak akan berani mengambil yang bukan haknya.

Sungguh, kalau kita cermati, hal buruk sekecil apapun dapat berdampak luar biasa nantinya. Bukan bermaksud menggurui atau sebagainya, disini saya hanya menyampaikan kata-kata yang berputar di otak ini. Sebagai peringatan dan pengingat juga untuk diri sendiri agar selalu sadar atas apa yang saya lakukan sebagai manusia tempatnya salah dan lupa. Meminta beribu maaf akan hati yang terluka membacanya atas bodohnya diri ini. Karena yang benar adtangnya dari Allah, dan salah itu dariku. Semoga bermanfaat bagi kita semua. ^^

Wassalamualaikum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar