Assalamualaikum ketemu lagi nih, hehehe..
Apa kabar? Semoga kesehatan dan keberkahan selalu Allah limpahkan untuk kita
semua. Kali ini bahas hal biasa namun agak berat nih hhehee, sebelumnya mohon
maaf kalau ada kata yang menyinggung pembaca.
“Jujur”
adalah kata yang sangat familiar untuk kita tentunya, sekalipun di akhir-akhir
ini akhlak bangsa kita Indonesia tercinta saya rasa sangat jauh dari Kejujuran
itu sendiri. Terbukti dengan kasus korupsi yang merebak, serta penanganan yang
dilakukan seakan tak menyurutkan niat pelakunya.
Menelisik
kembali apa yang menjadi akar masalah dari kasus korupsi yang merajalela di
negeri ini yang membuat negeri ini yang kaya terasa miskin, memang karena
kejujuran, dan rasa amanah, serta akhlak yang dimiliki oleh para pelaku korupsi
tentu sudah kita ketahui.
Masalah
kejujuran tak hanya di bidang politik yang kebetulan sering terekspose media,
dari pengalaman hidup selama ini di dunia pendidikan, yang juga berperan
sebagai pembentukan karakter masyarakat kita, kejujuran pun sangat minim, dalam
hal ujian misalnya, tau sendiri kan? Memakai kata solidaritas, citra sekolah,
dan rahasia umum lainnya yang membuat kejujuran itu di kesampingkan, nampaknya
kejujuran hanya ada dalam materi tahun awal bangku sekolah dasar.
Dari
pengalamanku sendiri, tak hanya para kawan yang menghalalkan praktik
ketidakjujuran tadi, para pendidik pun pernah memintaku untuk melakukan
demikian dengan di tambah bumbu ancaman. Yup, sungguh miris, saat guru lain
mengajarkan jujur dalam teori, praktiknya aku di jerumuskan dalam
ketidakjujuran. Kelihatan sepele, namun hal ringan ini akan terbentuk dalam
mindset para siswa bahwa mencontek atau hal tidak jujur lainnya adalah hal yang
diperbolehkan. Inilah yang menjadi bibit-bibit korupsi nantinya.
Mengutip
kata-kata dari sebuah komik yang intinya sebuah keburukan kecil yang
dibiarkan, akan menjadi sebuah kebiasaan, dan lama-kelamaan bisa menjadi
sesuatu yang dibenarkan. Nahloh, kalo akhirnya mencontek dianggap sesuatu
yang dibenarkan, nantinya, bukan tidak mungkin korupsi akan menyusul pula
nasibnya
Pengalaman
di bangku SD tadi terus berlanjut sampai bangku perkuliahan. Meskipun aku
melawan arus, dianggap pelit atau tak solider, dan godaan dari diri sendiri pun
tak kupungkiri terus menghampiri, terus berusaha teguh pada prinsip,
membayangkan malunya aku pada anak-anak ku atau anak didikku kalau mengetahui
aku sebagai guru mereka ternyata seseorang dengan prestasi yang semu, palsu.
Mengajarkan kebaikan namun tak kulakukan.
Padahal
agama Islam yang begitu indah ini sudah menyampaikan kisah-kisah kepemimpinan
yang sungguh mulia, teladan yang baik, yang terbentuk dari keimanan akan sebuah
agama yang mengatur semua lengkap. Pembelajaran akhlak yang dapat membentuk
karakter yang berakhlakul karimah, yang selalu takut pada Allah, yang tidak
tergila-gila akan dunia, yang adil, dan rahmatal lil alamin. Seperti kisah Umar
bin Khatab yang memikul gandum sendiri untuk rakyatnya yang kelaparan, atau Khalifah
Umar bin Abdul Aziz yang menggunakan lampu milik Negara hanya untuk urusan
kenegaraan, dan mengganti dengan lampu minyak milik pribadinya untuk urusan
selain itu. Sulit menemukannya saat ini. Seorang manusia yang mengingat akan
Tuhannya, yang menyadari ada dua malaikat di belakangnya yang selalu mencatat
apa yang di lakukan, ia tak akan berani mengambil yang bukan haknya.
Sungguh,
kalau kita cermati, hal buruk sekecil apapun dapat berdampak luar biasa
nantinya. Bukan bermaksud menggurui atau sebagainya, disini saya hanya
menyampaikan kata-kata yang berputar di otak ini. Sebagai peringatan dan
pengingat juga untuk diri sendiri agar selalu sadar atas apa yang saya lakukan
sebagai manusia tempatnya salah dan lupa. Meminta beribu maaf akan hati yang
terluka membacanya atas bodohnya diri ini. Karena yang benar adtangnya dari
Allah, dan salah itu dariku. Semoga bermanfaat bagi kita semua. ^^
Wassalamualaikum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar