Di bawah sinar bulan yang melengkungkan senyumnya malam ini,
tubuhku terasa remuk, banyak to do list yang kukerjakan weekend ini, terkadang
melelahkan, namum menyenangkan untukku.
Putri kecilku yang tak terasa
sudah enam tahun mengorbit di duniaku, mewarnai langit-langit gelapku
dengan aurora tawanya, telah terlelap kelelahan di bawah temaram lampu tidur
bersama beruang coklatnya.
Kuletakkan
tulang-tulangku disisinya, melihatnya terlelap, mengingatkanku akan cepatnya
waktu berlalu, ia dulu masih dalam perutku, sekarang sudah bisa berlarian di
sekitarku, terucap harapku untuknya di masa depannya, sosok kecil yang selalu
membuatku terus berdiri disini, mencoba terus memancarkan cahaya dari istana
kecilku. Kuletakkan tanganku yang kian mengering di pipi chubbynya, melihat
senyum polos itu cukup mengantarku ke alam mimpi dengan tersenyum.
Tengah malam itu, aku merasa tidurku terusik, tanganku yang terasa
dingin dan basah, tercium bau semerbak wewangian bunga. Tak kuhiraukan, aku
lebih memilih melanjutkan mimpiku. Namun lama-kelamaan hal ini masih
menggangguku. Ku buka mataku, terbangun dan melihat malaikat kecilku sedang
memegang botol lotion milikknya, rambut hitamnya yang masih acak-acakan, dan
beruang coklatnya telah berada di lantai dekat lemarinya. “Raisha sedang apa
nak?” Aku bertanya sambil membiarkan ia mengusapkan lotion di tanganku yang
mengering.
Ia memberiku
senyum termanisnya yang mampu meruntuhkan seluruh penatku dan berkata, ”tangan
bunda sering terkena pisau untukku, ini biar tangannya bunda cantik lagi”. Haru
menghampiriku, tak kusangka putri ku akan semanis ini, sebuah tindakan
sederhana yang mampu menyentuh kalbuku. Aku masih terbata akan kata-kata,
Raisha melanjutkan lantunan indahnya untukku “Bunda, terimakasih ya, Raisha
sayang bunda”. Kurengkuh ia dalam pelukku, kerongkonganku sesak penuh kata yang
tak terungkap, berbuah bulir haru yang mengalir, hanya bisa ku balas dengan
terimakasih atas kata-kata yang tak pernah kuduga. Terimakasih peri kecilku,
untuk malam termanis yang tak pernah terhapuskan.
“Tak perlu kau berikan dunia untuk menunjukkan cinta, cukup
sepercik perhatian sederhana, cinta kan sampai tanpa kau mengatakannya”
Malang,
20 Agustus 2000
“Telepon yang anda tuju sedang sibuk” Sedari tadi hanya kalimat itu
yang ia dengar pada teleponnya. Dirumah terlihat tak berpenghuni, namun tak
dikunci. Ia melaju menuju sebuah ruang dirumahnya. Sebuah diary usang dibacanya
di ruang favorit bunda, perpustakaan kecil yang selalu menjadi impian bundanya
sejak masih sekolah. Hatinya basah, sebasah matanya yang mengingat tingkah
polosnya sewaktu berusia enam tahun. Ia tak menyangka pernah semanis itu. Peri
kecil bundanya itu telah berevolusi menjadi seorang putri yang cantik nan manis.
Raisha kembali ke rumahnya setelah mendapat pesan singkat pada
email dari ayahnya. Pesan yang membuatnya membatalkan segala urusannya. Pipinya
masih basah, ia melanjutkan baris demi baris yang ditulis rapi oleh bundanya
tercinta, Senyum kecil kadang terungkap di paras cantik Raisha. Sesal menyertai
helaan nafas panjangnya. Setiap lembar selesai ia baca, ia pejamkan kedua
matanya, menyadari waktu tak dapat lagi kembali.
~~~
Weekend yang indah, hari minggu saat semua berkumpul, Raisha,
adeknya yang masih berusia 2 tahun, ayah serta bundanya ada dirumah. Ayah lebih
memilih ke ruang baca di rumah, Raisha bermain tanah dengan adek kecilnya di
kebun bunga bersama bundanya yang ingin berkebun hari itu. Sesekali sang bunda
menengok mereka, dua cahaya yang menerangi hidupnya. “Kak Raisha, dedeknya
dijagain ya, mainya hati-hati” pesan sang bunda. Sang bunda tengah merapikan
bunga mawarnya ketika Raisha tengah mencabuti pohon sirsak yang masih muda,
sang bunda baru menyadari saat ia melihat kearah kedua putrinya yang tertawa. Kaget
bukan kepalang, tersisa 3 helai daun saja di pohon itu, akarnya pun telah
koyak. Dua wajah polos itu hanya bisa tertunduk mengetahui hal yang di lakukan
tak menyenangkan bundanya. Ayah menjadi penyelamat para putri dari amarah sang
bunda kala itu. Sang bunda hanya terdiam, tak mampu melawan, hanya merapikan segalanya
yang tercecer.
~~~
Gemericik air terdengar sayup-sayup di telinga sang putri, di
tempat yang tak ia kenali, masih berusaha mencari tahu, dimana ia berada,
menelusuri tempat indah nan asri, menemukan sebuah air terjun kecil dengan
taman bunga yang menawan, mengenali satu sosok di tepi kolam, Raisha berlari,
memeluk, dan meminta maaf. Hanya senyum yang dipancarkan oleh seseorang yang
telah merawatnya dengan cinta. Raisha terjatuh dalam buaian. Ia menangis
sejadi-jadinya, sang Bunda membelai lembut rambut hitam sang putri. Memegang
bahunya, mengusap bulir bening di wajahnya, lalu berdiri, tersenyum dan berjalan menjauhi Raisha.
Raisha terbangun dari tidurnya, bibirnya bergetar menggumam nama
bundanya, masih dengan diary sang bunda
di ruang baca rumah itu. Pipinya masih basah, dadanya masih sesak, tangannya
mengepal tanda sebal akan dirinya. Raisha meraih ponselnya, 3 panggilan tak
terjawab dari sang Ayah. Menelepon ayahnya, terdengar kata yang semakin
membuatnya terisak. Merapikan barang-barangnya, membawa diary bundanya, dan
melajukan mobilnya secepat yang ia bisa.
~~~
“Raisha dari mana baru pulang? Kenapa tidak izin sama bunda? Kalau
ayah marah kamu pulang telat siapa yang susah nak?” Pertanyaan klasik untuk
Raisha yang mulai berfikir menikmati masa mudanya. Ia hanya menjawab seperlunya
karena telah lelah setelah jalan-jalan bersama rekannya. Mengacuhkan sang bunda
yang sedari tadi cemas akan putrinya. Raisha berjalan gontai menuju kamarnya,
melanjutkan gerutunya dalam kamar, sebal akan bunda yang mulai bawel akan
dirinya, mulai merasa sang bunda telah menghalangi kesenangannya.
Pagi itu, Raisha malas untuk sarapan pagi, ia masih sebal dengan
aturan yang dibuat bundanya. Dengan manyun ia menghabiskan roti coklat manis
yang pahit baginya. Tak ada sepatah katapun yang keluar darinya. Diam. Tak ada
yang berani memulai pembicaraan, hanya celoteh adeknya yang terdengar dari
ruang makan. Raisha meraih tasnya, dan berlalu. Sebalnya bertambah, sejak
adiknya terlahir menemani keluarga itu, rasa cemburu muncul dari sang kakak
karena perhatian ayah dan bunda terbagi, terlebih pagi itu, bunda bermain
dengan adiknya di meja makan. Sang bunda menatap nanar punggung putrinya yang
menginjak dewasa, pertanyaan memutari otaknya, salahkah sikapku? Buliran air
sebening kaca menghiasi wajahnya pagi itu, dihapus dengan doa pada Sang Maha
Cinta untuk putrinya. Hatinya hancur, menyadari saat yang ia kasihi, kini
membenci.
~~~
Raisha telah 3 tahun mengenakan seragam putih abu-abu, ia masih
terus bermimpi untuk bisa melanjutkan kuliah ke Inggris. Ayahnya mendukung
sekali, mereka berdua sangat antusias dengan rencana Raisha. Semua telah ia
persiapkan dengan rapi, informasi tempat kuliah, jurusan, penginapan, dan
kemampuan otak Raisha yang tak diragukan lagi. Hanya izin bundanya yang belum
ia dapatkan sejak awal raisha merayu keluarganya. Bunda hanya diam, ia
menyarankan ke universitas di sekitar rumahnya saja yang kualitasnya juga baik.
Raisha sebal, lagi-lagi bundanya menjadi penghalang mimpinya.
Ayahpun telah mencoba merayu istrinya tercinta, namun bunda hanya
diam dan menangis. Ayah jadi serba salah saat itu. Raisha pun tak berhenti
merayu bundanya. Raisha lebih rajin bersih-bersih dan memasak membantu
bundanya. Membuat sang bunda semakin tidak rela menghabiskan waktu bertahun
tahun jauh darinya. Raisha merayu, akan sering pulang, bundanya tau ia
berbohong, karna dari finansial tak seperti itu, mungkin ia akan pulang setiap
semester saja. Bundanya tau, rindu itu menyiksa batinya.
Raisha tetap bersikeras berangkat ke Inggris, bundanya tak dapat
berbuat banyak. Ia pasrahkan hatinya untuk teriris rindu. Kurang 4 tahun di
lewati Raisha di negeri orang, kepandaiannya lah yang menyebabkan ia di rekrut
bekerja sebelum lulus. Memang, seluruh anggota keluarga bangga padanya. Namun
Kebahagiaan di rumah bersama keluarganya masih tertutup awan abu-abu. Di depan
matanya masih terlihat gunung karier yang ingin ia rengkuh.
~~~
Raisha hanya bisa menangis sambil melihat sosok bundanya di balik
kaca. Dokter masih melarang siapapun masuk. Bundanya tersenyum melihat putri
yang ia rindukan tiba, manis sekali, sekalipun sedikit kesulitan karna selang
di mulutnya, Rambutnya tanggal, tapi tak pernah mengurangi paras cantiknya. Tangis
Raisha pecah, memeluk adiknya erat, dan ayah mencoba menenangkan kedua putrinya
meskipun hatinya pun terpecah. Sang Ratu terbaring lemah, dengan selang di
hidungnya, dan selang-selang yang lain yang terlihat menyiksa. Raisha masih
terisak, tangannya mengenggam erat diary bundanya. “Maafkan Raisha bunda,
maafkan putrimu yang nakal ini, aku mau jagain bunda sekarang, Raisha gak mau
ninggal bunda lagi, bunda sembuh yaa
Aku
merindukan putriku, sungguh…
Aku
merindukan belaian tangan kecilnya, merindukan tawanya saat bermain bersama
adiknya, celotehnya, wajah polos saat ia terlelap, senyumnya saat melahap roti
coklat kesukaannya, aku merindukan kenakalannya, pohon sirsak tanaman obat
kankerku yang ia tanggalkan daunnya, aku memang marah, namun setelahnya sungguh
merasa bersalah
Aku
kehilangannya, walau sekejap. Dan aku tak sanggup mengatakan itu semua.
Ia memang tak lagi kecil seperti dulu, ia sudah mampu tanpaku, tapi
aku yang tak mampu tanpanya. Hidupku meredup, tertinggal satu cahaya di
galaksiku. Aku memang tak terlihat mendukungnya untuk pergi ke sekolah yang ia
mau, aku hanya ingin dia disini. Tetap mengintari hari-hariku.
Hanya lewat telepon yang tak setiap hari kudengar, hanya dari album
ku usap wajahnya, hanya dengan menulis ini aku mengingatnya
Tubuhku melemah, sel kanker memaksaku untuk terpenjara di gedung
rumah sakit. Aku tak suka itu. Membuat semuanya khawatir,kecuali raisha
tentunya, aku meminta untuk tidak memberitahunya agar ia bisa sekolah dengan
tanpa beban.
Aku masih berjuang, aku takkan menyerah, aku masih punya dua cahaya
yang kujaga terangnya. Aku masih ingin melihat putrid-putriku, yang
membanggakanku dengan apapun yang ia lakukan. Pulanglah nak, temani bunda
disini.
Malang,
3 Desember 2012
Terharu, baru baca sampai tamat :")
BalasHapusiya kah umi? :D jelek umii, kalah di lomba, ya sudah, pos disini saja
Hapus