Rabu, 30 Oktober 2013

Cahaya sang Bunda

Di bawah sinar bulan yang melengkungkan senyumnya malam ini, tubuhku terasa remuk, banyak to do list yang kukerjakan weekend ini, terkadang melelahkan, namum menyenangkan untukku.
Putri kecilku yang tak terasa  sudah enam tahun mengorbit di duniaku, mewarnai langit-langit gelapku dengan aurora tawanya, telah terlelap kelelahan di bawah temaram lampu tidur bersama beruang coklatnya.

            Kuletakkan tulang-tulangku disisinya, melihatnya terlelap, mengingatkanku akan cepatnya waktu berlalu, ia dulu masih dalam perutku, sekarang sudah bisa berlarian di sekitarku, terucap harapku untuknya di masa depannya, sosok kecil yang selalu membuatku terus berdiri disini, mencoba terus memancarkan cahaya dari istana kecilku. Kuletakkan tanganku yang kian mengering di pipi chubbynya, melihat senyum polos itu cukup mengantarku ke alam mimpi dengan tersenyum.
Tengah malam itu, aku merasa tidurku terusik, tanganku yang terasa dingin dan basah, tercium bau semerbak wewangian bunga. Tak kuhiraukan, aku lebih memilih melanjutkan mimpiku. Namun lama-kelamaan hal ini masih menggangguku. Ku buka mataku, terbangun dan melihat malaikat kecilku sedang memegang botol lotion milikknya, rambut hitamnya yang masih acak-acakan, dan beruang coklatnya telah berada di lantai dekat lemarinya. “Raisha sedang apa nak?” Aku bertanya sambil membiarkan ia mengusapkan lotion di tanganku yang mengering.
            Ia memberiku senyum termanisnya yang mampu meruntuhkan seluruh penatku dan berkata, ”tangan bunda sering terkena pisau untukku, ini biar tangannya bunda cantik lagi”. Haru menghampiriku, tak kusangka putri ku akan semanis ini, sebuah tindakan sederhana yang mampu menyentuh kalbuku. Aku masih terbata akan kata-kata, Raisha melanjutkan lantunan indahnya untukku “Bunda, terimakasih ya, Raisha sayang bunda”. Kurengkuh ia dalam pelukku, kerongkonganku sesak penuh kata yang tak terungkap, berbuah bulir haru yang mengalir, hanya bisa ku balas dengan terimakasih atas kata-kata yang tak pernah kuduga. Terimakasih peri kecilku, untuk malam termanis yang tak pernah terhapuskan.
Tak perlu kau berikan dunia untuk menunjukkan cinta, cukup sepercik perhatian sederhana, cinta kan sampai tanpa kau mengatakannya
Malang, 20 Agustus 2000
“Telepon yang anda tuju sedang sibuk” Sedari tadi hanya kalimat itu yang ia dengar pada teleponnya. Dirumah terlihat tak berpenghuni, namun tak dikunci. Ia melaju menuju sebuah ruang dirumahnya. Sebuah diary usang dibacanya di ruang favorit bunda, perpustakaan kecil yang selalu menjadi impian bundanya sejak masih sekolah. Hatinya basah, sebasah matanya yang mengingat tingkah polosnya sewaktu berusia enam tahun. Ia tak menyangka pernah semanis itu. Peri kecil bundanya itu telah berevolusi menjadi seorang putri yang cantik nan manis.
Raisha kembali ke rumahnya setelah mendapat pesan singkat pada email dari ayahnya. Pesan yang membuatnya membatalkan segala urusannya. Pipinya masih basah, ia melanjutkan baris demi baris yang ditulis rapi oleh bundanya tercinta, Senyum kecil kadang terungkap di paras cantik Raisha. Sesal menyertai helaan nafas panjangnya. Setiap lembar selesai ia baca, ia pejamkan kedua matanya, menyadari waktu tak dapat lagi kembali.
~~~
Weekend yang indah, hari minggu saat semua berkumpul, Raisha, adeknya yang masih berusia 2 tahun, ayah serta bundanya ada dirumah. Ayah lebih memilih ke ruang baca di rumah, Raisha bermain tanah dengan adek kecilnya di kebun bunga bersama bundanya yang ingin berkebun hari itu. Sesekali sang bunda menengok mereka, dua cahaya yang menerangi hidupnya. “Kak Raisha, dedeknya dijagain ya, mainya hati-hati” pesan sang bunda. Sang bunda tengah merapikan bunga mawarnya ketika Raisha tengah mencabuti pohon sirsak yang masih muda, sang bunda baru menyadari saat ia melihat kearah kedua putrinya yang tertawa. Kaget bukan kepalang, tersisa 3 helai daun saja di pohon itu, akarnya pun telah koyak. Dua wajah polos itu hanya bisa tertunduk mengetahui hal yang di lakukan tak menyenangkan bundanya. Ayah menjadi penyelamat para putri dari amarah sang bunda kala itu. Sang bunda hanya terdiam, tak mampu melawan, hanya merapikan segalanya yang tercecer.
~~~
Gemericik air terdengar sayup-sayup di telinga sang putri, di tempat yang tak ia kenali, masih berusaha mencari tahu, dimana ia berada, menelusuri tempat indah nan asri, menemukan sebuah air terjun kecil dengan taman bunga yang menawan, mengenali satu sosok di tepi kolam, Raisha berlari, memeluk, dan meminta maaf. Hanya senyum yang dipancarkan oleh seseorang yang telah merawatnya dengan cinta. Raisha terjatuh dalam buaian. Ia menangis sejadi-jadinya, sang Bunda membelai lembut rambut hitam sang putri. Memegang bahunya, mengusap bulir bening di wajahnya, lalu berdiri, tersenyum dan  berjalan menjauhi Raisha.
Raisha terbangun dari tidurnya, bibirnya bergetar menggumam nama bundanya,  masih dengan diary sang bunda di ruang baca rumah itu. Pipinya masih basah, dadanya masih sesak, tangannya mengepal tanda sebal akan dirinya. Raisha meraih ponselnya, 3 panggilan tak terjawab dari sang Ayah. Menelepon ayahnya, terdengar kata yang semakin membuatnya terisak. Merapikan barang-barangnya, membawa diary bundanya, dan melajukan mobilnya secepat yang ia bisa.
~~~
“Raisha dari mana baru pulang? Kenapa tidak izin sama bunda? Kalau ayah marah kamu pulang telat siapa yang susah nak?” Pertanyaan klasik untuk Raisha yang mulai berfikir menikmati masa mudanya. Ia hanya menjawab seperlunya karena telah lelah setelah jalan-jalan bersama rekannya. Mengacuhkan sang bunda yang sedari tadi cemas akan putrinya. Raisha berjalan gontai menuju kamarnya, melanjutkan gerutunya dalam kamar, sebal akan bunda yang mulai bawel akan dirinya, mulai merasa sang bunda telah menghalangi kesenangannya.
Pagi itu, Raisha malas untuk sarapan pagi, ia masih sebal dengan aturan yang dibuat bundanya. Dengan manyun ia menghabiskan roti coklat manis yang pahit baginya. Tak ada sepatah katapun yang keluar darinya. Diam. Tak ada yang berani memulai pembicaraan, hanya celoteh adeknya yang terdengar dari ruang makan. Raisha meraih tasnya, dan berlalu. Sebalnya bertambah, sejak adiknya terlahir menemani keluarga itu, rasa cemburu muncul dari sang kakak karena perhatian ayah dan bunda terbagi, terlebih pagi itu, bunda bermain dengan adiknya di meja makan. Sang bunda menatap nanar punggung putrinya yang menginjak dewasa, pertanyaan memutari otaknya, salahkah sikapku? Buliran air sebening kaca menghiasi wajahnya pagi itu, dihapus dengan doa pada Sang Maha Cinta untuk putrinya. Hatinya hancur, menyadari saat yang ia kasihi, kini membenci.
~~~
Raisha telah 3 tahun mengenakan seragam putih abu-abu, ia masih terus bermimpi untuk bisa melanjutkan kuliah ke Inggris. Ayahnya mendukung sekali, mereka berdua sangat antusias dengan rencana Raisha. Semua telah ia persiapkan dengan rapi, informasi tempat kuliah, jurusan, penginapan, dan kemampuan otak Raisha yang tak diragukan lagi. Hanya izin bundanya yang belum ia dapatkan sejak awal raisha merayu keluarganya. Bunda hanya diam, ia menyarankan ke universitas di sekitar rumahnya saja yang kualitasnya juga baik. Raisha sebal, lagi-lagi bundanya menjadi penghalang mimpinya.
Ayahpun telah mencoba merayu istrinya tercinta, namun bunda hanya diam dan menangis. Ayah jadi serba salah saat itu. Raisha pun tak berhenti merayu bundanya. Raisha lebih rajin bersih-bersih dan memasak membantu bundanya. Membuat sang bunda semakin tidak rela menghabiskan waktu bertahun tahun jauh darinya. Raisha merayu, akan sering pulang, bundanya tau ia berbohong, karna dari finansial tak seperti itu, mungkin ia akan pulang setiap semester saja. Bundanya tau, rindu itu menyiksa batinya.
Raisha tetap bersikeras berangkat ke Inggris, bundanya tak dapat berbuat banyak. Ia pasrahkan hatinya untuk teriris rindu. Kurang 4 tahun di lewati Raisha di negeri orang, kepandaiannya lah yang menyebabkan ia di rekrut bekerja sebelum lulus. Memang, seluruh anggota keluarga bangga padanya. Namun Kebahagiaan di rumah bersama keluarganya masih tertutup awan abu-abu. Di depan matanya masih terlihat gunung karier yang ingin ia rengkuh.
~~~
Raisha hanya bisa menangis sambil melihat sosok bundanya di balik kaca. Dokter masih melarang siapapun masuk. Bundanya tersenyum melihat putri yang ia rindukan tiba, manis sekali, sekalipun sedikit kesulitan karna selang di mulutnya, Rambutnya tanggal, tapi tak pernah mengurangi paras cantiknya. Tangis Raisha pecah, memeluk adiknya erat, dan ayah mencoba menenangkan kedua putrinya meskipun hatinya pun terpecah. Sang Ratu terbaring lemah, dengan selang di hidungnya, dan selang-selang yang lain yang terlihat menyiksa. Raisha masih terisak, tangannya mengenggam erat diary bundanya. “Maafkan Raisha bunda, maafkan putrimu yang nakal ini, aku mau jagain bunda sekarang, Raisha gak mau ninggal bunda lagi, bunda sembuh yaa

Aku merindukan putriku, sungguh…
Aku merindukan belaian tangan kecilnya, merindukan tawanya saat bermain bersama adiknya, celotehnya, wajah polos saat ia terlelap, senyumnya saat melahap roti coklat kesukaannya, aku merindukan kenakalannya, pohon sirsak tanaman obat kankerku yang ia tanggalkan daunnya, aku memang marah, namun setelahnya sungguh merasa bersalah
Aku kehilangannya, walau sekejap. Dan aku tak sanggup mengatakan itu semua.
Ia memang tak lagi kecil seperti dulu, ia sudah mampu tanpaku, tapi aku yang tak mampu tanpanya. Hidupku meredup, tertinggal satu cahaya di galaksiku. Aku memang tak terlihat mendukungnya untuk pergi ke sekolah yang ia mau, aku hanya ingin dia disini. Tetap mengintari hari-hariku.
Hanya lewat telepon yang tak setiap hari kudengar, hanya dari album ku usap wajahnya, hanya dengan menulis ini aku mengingatnya
Tubuhku melemah, sel kanker memaksaku untuk terpenjara di gedung rumah sakit. Aku tak suka itu. Membuat semuanya khawatir,kecuali raisha tentunya, aku meminta untuk tidak memberitahunya agar ia bisa sekolah dengan tanpa beban.
Aku masih berjuang, aku takkan menyerah, aku masih punya dua cahaya yang kujaga terangnya. Aku masih ingin melihat putrid-putriku, yang membanggakanku dengan apapun yang ia lakukan. Pulanglah nak, temani bunda disini.
Malang, 3 Desember 2012


2 komentar:

  1. Balasan
    1. iya kah umi? :D jelek umii, kalah di lomba, ya sudah, pos disini saja

      Hapus