Menapaki jejakku dulu. di pojok itu
aku menangis menjadi-jadi, di teras itu aku melahap bakso ku setiap sore, dan
setiap sore itu juga penjual bakso itu memanggilku “judes”. Masih di teras itu,
saat lengan yang kubalut sweater biru digigit
hingga berdarah oleh sepupuku. Melihat pesta kembang api saat pabrik peluru itu
ulang tahun.Saat bermain perahu kertas saat hujan mengguyur. Di pojok ruang
tamu saat aku masih menghafalkan arti alfatihah dengannya. Dan semua kenangan di
ruang rindu ku yang terus saja lewat saat aku berdiam.
Ruang rindu itu masih mengingatkan
ku akan sosoknya.. ya, sosok yang selalu memaksaku untuk membuat kue itu. Kue yang
dulu aku sangat bosan hanya dengan melihatnya, yang tak terfikir olehku, kenapa
beliau sesemangat itu, tak tampak bosan sedikitpun walau telah jutaan hari
membuatnya, memenuhi lemari-lemari yang tingginya 3 kali dari aku kala itu..
sampai satu hari.. aku tau jawabnya
Tampaknya sosok tampan itu yang
membuatnya semangat. Sambil malas kuaduk adonan itu yang terasa berat di tangan
kecilku. Terurai bulir air mata haru, mengingat semua keringat yang dulu mereka
lalui berdua. Dengan nakal, ku makan beberapa kue itu sambil
mendengarkan. Kepulan aroma kue yang sekalipun aku bosan tak bisa ku menolaknya
saat masih hangat. Beliau menceritakan cintanya…
Setelah diikat oleh janji suci,
mereka berdua melalui hidupnya bersama. Dengan orang yang mungkin baru beberapa
hari ia kenal. Dengan seseorang yang sama sekali bertolak belakang karakternya
(sangat berkebalikan!) namun cinta bukan melulu kepada seseorang yang
berfikiran sama, menyukai hal sama, atau sifat yang sama. Sekalipun banyak
sekali yang berbeda mereka bisa bersama. Ikatan itu tak langsung membuat mereka
“Happily ever after ” seperti pada kisah-kisah dongen Disney. Justru itulah
awal kisahnya.
Berpindah, dari pulau garam ke kota
yang panasnya luar biasa (kalau di bandingin sama tempatku tinggal sekarang sih),
dengan modal sedikit, mereka mengais rezeki Allah. Berdua, tanpa tempat
tinggal, hanya ditemani sebuah gerobak kecil, yang kotak-kotaknya berisi
baju-baju. Sampai bertemu saudara mereka. Tinggal disana, menumpang. Baju-baju
itu telah berpindah ke lemari kecil di sebuah kamar yang sempit. Masih dengan
gerobak, mereka mengais rezeki, tanpa lelah dengan ikhtiarnya.. terlebih dengan
2 buah hati yang harus terus tumbuh, yang menjadi semangat mereka. Tak mudah
menyerah dan putus asa, menjadikan tabungan mereka cukup untuk membeli sebuah
rumah di desa kecil nan indah, tempat ruang rinduku berada. Rumah itu dibangun
dengan cinta. Tak terbayang berapa kali beda pendapat, beda pemikiran dan keikhlasan
untuk mendengar, menghargai, dan memikirkan perbedaan itu yang
membuat semua bisa dilalui. Bukan mengajukan egoisme dengan dalih-dalih
aku pemimpinnya atau aku pengaturnya. Tapi sedikit ruang dalam hati untuk menerima
bukan menuntut. Meski ceceran ceritanya acak, entah kenapa aku masih
bisa mengerti alurnya, di sesaki dengan tangis haru, karna kasihnya tak lagi di
sisinya, namun telah ke sisiNya. Terlihat sekali beliau sangat merindukannya. Saat
itu aku juga.. tak ada lagi pendongeng ku kala aku tak bisa terlelap malam itu.
Dari kue itu, ia bisa mengingat
cintanya, terus mengingat perjuangan mereka berdua, hinga bersembilan dan
berpuluhan (tambah menantu dan cucu :D). Pantas saja tak pernah terlihat
menyerah di matanya. Karena itu cintanya. Cinta itu memang bisa membuat
seseorang hilang rasa, entah rasa bosan, rasa takut, dan rasa lainya. Tinggal hati
dan keimanan yang memegang kendali, kemana kekuatan cintanya di arahkan.
kepadaNya atau kesenangan sesaat saja. hm.. kue yang sekarang kurindukan.. yang tak lagi ku santap 4 tahun terakhiri ini.. kue yang saat ada terasa tak berharga, dan saat tiada, terasa bermakna
Dari beliau berdua, aku bisa
belajar. Bahwa keikhlasan, dan penerimaan, atau rasa mau mengalah bisa menjadi
emulsifier segala perbedaan yang terlihat tak bisa disatukan. Air dan minyak tak
akan bisa bersatu jika sama-sama saling egois, kau kocok berapa kali dan berapa
lama pun, akan tetap terpisah, namun dengan penerimaan, bisa saja mereka
bersatu, emnjadi sesuatu yang lebih bermanfaat.
Terimakasih atas cerita hidup yang
sungguh berarti. Mungkin saat aku dulu mendengarnya, aku belum mengerti. Kini aku
tau, dan telah kucoba beberapa resepmu. Tak lagi terluka lama, karena Ikhlas adalah
kuncinya :’). Ini hanya cinta dari seorang Hamba. Bagaimana lagi dahsyatnya
cinta Sang Maha Cinta?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar